Tiga orang musafir menjadi sahabat dalam suatu perjalanan yang jauh dan
melelahkan; mereka bergembira dan berduka bersama, mengumpulkan
kekuatan dan tenaga bersama.
Setelah berhari-hari lamanya mereka
menyadari bahwa yang mereka miliki tinggal sepotong roti dan seteguk air di kendi. Mereka pun bertengkar tentang siapa yang berhak memakan
dan meminum bekal tersebut. Karena tidak berhasil mencapai kesepakatan,
akhirnya mereka memutuskan untuk membagi saja makanan dan minuman itu
menjadi tiga. Namun, tetap saja mereka tidak sepakat.
Malam pun
turun, salah seorang mengusulkan agar tidur saja. Kalau besok mereka
bangun, orang yang telah mendapatkan mimpi yang paling menakjubkan akan
menentukan apa yang harus dilakukan.
Pagi berikutnya, ketiga musafir itu bangun ketika matahari terbit.
"Inilah mimpiku," kata yang pertama. "Aku berada di tempat-tempat yang tidak
bisa digambarkan, begitu indah dan tenang. Aku berjumpa dengan seorang
bijaksana yang
berkata kepadaku, 'Kau berhak makan makanan itu, sebab
kehidupan masa lampau dan masa depanmu berharga, dan pantas mendapat
pujian."
"Aneh sekali," kata musafir kedua. "Sebab dalam
mimpiku, aku jelas-jelas melihat segala masa lampau dan masa depanku.
Dalam masa depanku, kulihat seorang lelaki maha tahu berkata, 'Kau
berhak akan makanan itu lebih dari kawan-kawanmu, sebab kau lebih
berpengetahuan dan lebih sabar. Kau harus cukup makan, sebab kau
ditakdirkan untuk menjadi penuntun manusia."
Musafir ketiga
berkata, "Dalam mimpiku aku tak melihat apa pun, tak berkata apa pun.
Aku merasakan suatu kekuatan yang memaksaku bangun, mencari roti dan
air itu, lalu memakannya di situ juga. Nah, itulah yang kukerjakan
semalam."
Mohammad Gwath Syatari
Selamat datang...!!! Blog sederhana ini berisi kisah kisah bijak tauladan yang pastinya bisa meng-inspirasi kita untuk lebih bijaksana dalam setiap langkah dan keputusan dalam hidup.!! Semoga bermanfaat....!!
Rabu, 07 November 2012
RAKSASA DAN GURU SUFI
Al kisah ada seorang Guru Sufi sedang bepergian ke suatu tempat. Selang beberapa hari sampailah ia di daerah
pegunungan yang gersang dan tandus, tiba-tiba muncul sosok raksasa jahat menghadangnya,
dan berkata "Akan kuhabisi nyawamu," ancam makhluk itu.
"Begitukah? Coba kalau bisa," jawab Sang Guru Sufi itu, "Aku lebih kuat dari yang kau kira, dan aku akan mengalahkanmu."
"Jangan banyak bicara," hardik raksasa itu. "Kau seorang Guru Sufi, hanya mengerti hal-hal spiritual. Mana mungkin kau bisa mengalahkanku, sebab tenagaku dahsyat dan aku tiga puluh kali lebih besar darimu,"
"Kalau kau benar benar mau mengadu kekuatan, Mari kita lihat siapa yang bisa memeras air dari batu." Tantang si Guru Sufi.
Diambilnya batu kecil dan diberikannya kepada setan itu. Betapa kerasnya mencoba, raksasa itu gagal. "Hal itu mustahil, tak ada air dalam batu ini. Tunjukkan padaku jika memang bisa."
Dalam keadaan remang-remang, guru itu menggenggam batu itu, mengambil sebutir telur dari sakunya, lalu membenturkan keduanya; ia bersikap seolah-olah sedang memeras batu. Raksasa itu ternganga: sebab orang sering kali takjub pada hal-hal yang tak mereka pahami, dan benar-benar menilainya tinggi, lebih tinggi dari semestinya.
"Aku harus memikirkan kembali peristiwa ini," kata raksasa itu, "Singgahlah sebentar saja di guaku, malam ini kujamu kau!"
Sang Sufi mengikutinya ke sebuah gua yang luas sekali, penuh dengan barang-barang berharga milik ribuan musafir yang terbunuh oleh raksasa itu, laksana keadaan dalam gua Aladin.
"Berbaring dan tidurlah di sampingku," kata raksasa itu, "Besok pagi baru kita berbincang-bincang." Makhluk itu juga berbaring dari sekejap tertidur pulas.
Guru itu—menyadari adanya muslihat—bergegas bangkit dan bersembunyi di tempat yang aman dari raksasa itu. Sebelumnya, ia mengatur tempat tidurnya agar tampak seakan ia masih rebah.
Tidak lama kemudian, raksasa itu bangun. Dengan sebelah tangan, dipungutnya batang pohon yang ada di dekat tempat itu, lalu tiba-tiba dihantamkannya batang pohon itu sebanyak tujuh kali dengan keras pada sosok di tempat tidur sang Sufi. Kemudian, ia tidur lagi.
Guru itu kembali ke tempatnya, berbaring, dan berseru pada raksasa itu, "Hoi raksasa! Memang gua ini nyaman, tetapi seekor nyamuk telah menggigitku tujuh kali. Lakukanlah sesuatu untuk menangkap nyamuk itu."
Keluhan ringan tersebut menggentarkan si raksasa dan muncul keraguan untuk menyerang Sufi itu lagi. Bagaimanapun, bila seorang dipukul tujuh kali sekuat tenaga dengan batang pohon oleh raksasa, orang itu seharusnya sudah...
Pagi harinya, raksasa itu melemparkan sebuah kantong air dari kulit lernbu pada Sang Sufi lalu berkata, "Pergilah mengambil air untuk sarapan, supaya kita bisa minum teh."
Alih-alih menggunakan kantong air itu (yang tentu sangat berat untuk diangkat), guru itu berjalan ke sungai yang terdekat dan mulai menggali saluran kecil menuju gua.
Raksasa sudah kehausan, dan bertanya "Mengapa kau tidak bawa airnya?"
"Bersabarlah, temanku. Aku sedang membuatkanmu saluran air. Dengan begitu, air segar akan langsung menuju mulut gua, dan kau tidak usah lagi minum air dari kulit lembu."
Tetapi raksasa itu pun sudah terlampau haus untuk menunggu. Ia pergi ke sungai dan mengisi sendiri kantong airnya. Ketika teh selesai dibuat, ia minum beberapa galon, dan kemampuan berpikirnya jadi lebih baik. "Jikalau kau memang demikian perkasa—dan sudah kusaksikan itu—tak sanggupkah kau menggali saluran itu secepat mungkin, bukannya jengkal demi jengkal?"
"Sebab," kilah guru itu, "Sesuatu yang berharga barulah sungguh-sungguh berharga bila dilakukan dengan upaya sekecil mungkin. Semua hal punya ukuran upaya masing-masing. Dan aku melakukan upaya seminim mungkin untuk menggali saluran ini. Lagipula, aku tahu bahwa kau adalah mahluk yang terpenjara dalam kebiasaan sehingga kau akan selalu menggunakan kantor air dari kulit lembu."
REPUBLIKA
"Begitukah? Coba kalau bisa," jawab Sang Guru Sufi itu, "Aku lebih kuat dari yang kau kira, dan aku akan mengalahkanmu."
"Jangan banyak bicara," hardik raksasa itu. "Kau seorang Guru Sufi, hanya mengerti hal-hal spiritual. Mana mungkin kau bisa mengalahkanku, sebab tenagaku dahsyat dan aku tiga puluh kali lebih besar darimu,"
"Kalau kau benar benar mau mengadu kekuatan, Mari kita lihat siapa yang bisa memeras air dari batu." Tantang si Guru Sufi.
Diambilnya batu kecil dan diberikannya kepada setan itu. Betapa kerasnya mencoba, raksasa itu gagal. "Hal itu mustahil, tak ada air dalam batu ini. Tunjukkan padaku jika memang bisa."
Dalam keadaan remang-remang, guru itu menggenggam batu itu, mengambil sebutir telur dari sakunya, lalu membenturkan keduanya; ia bersikap seolah-olah sedang memeras batu. Raksasa itu ternganga: sebab orang sering kali takjub pada hal-hal yang tak mereka pahami, dan benar-benar menilainya tinggi, lebih tinggi dari semestinya.
"Aku harus memikirkan kembali peristiwa ini," kata raksasa itu, "Singgahlah sebentar saja di guaku, malam ini kujamu kau!"
Sang Sufi mengikutinya ke sebuah gua yang luas sekali, penuh dengan barang-barang berharga milik ribuan musafir yang terbunuh oleh raksasa itu, laksana keadaan dalam gua Aladin.
"Berbaring dan tidurlah di sampingku," kata raksasa itu, "Besok pagi baru kita berbincang-bincang." Makhluk itu juga berbaring dari sekejap tertidur pulas.
Guru itu—menyadari adanya muslihat—bergegas bangkit dan bersembunyi di tempat yang aman dari raksasa itu. Sebelumnya, ia mengatur tempat tidurnya agar tampak seakan ia masih rebah.
Tidak lama kemudian, raksasa itu bangun. Dengan sebelah tangan, dipungutnya batang pohon yang ada di dekat tempat itu, lalu tiba-tiba dihantamkannya batang pohon itu sebanyak tujuh kali dengan keras pada sosok di tempat tidur sang Sufi. Kemudian, ia tidur lagi.
Guru itu kembali ke tempatnya, berbaring, dan berseru pada raksasa itu, "Hoi raksasa! Memang gua ini nyaman, tetapi seekor nyamuk telah menggigitku tujuh kali. Lakukanlah sesuatu untuk menangkap nyamuk itu."
Keluhan ringan tersebut menggentarkan si raksasa dan muncul keraguan untuk menyerang Sufi itu lagi. Bagaimanapun, bila seorang dipukul tujuh kali sekuat tenaga dengan batang pohon oleh raksasa, orang itu seharusnya sudah...
Pagi harinya, raksasa itu melemparkan sebuah kantong air dari kulit lernbu pada Sang Sufi lalu berkata, "Pergilah mengambil air untuk sarapan, supaya kita bisa minum teh."
Alih-alih menggunakan kantong air itu (yang tentu sangat berat untuk diangkat), guru itu berjalan ke sungai yang terdekat dan mulai menggali saluran kecil menuju gua.
Raksasa sudah kehausan, dan bertanya "Mengapa kau tidak bawa airnya?"
"Bersabarlah, temanku. Aku sedang membuatkanmu saluran air. Dengan begitu, air segar akan langsung menuju mulut gua, dan kau tidak usah lagi minum air dari kulit lembu."
Tetapi raksasa itu pun sudah terlampau haus untuk menunggu. Ia pergi ke sungai dan mengisi sendiri kantong airnya. Ketika teh selesai dibuat, ia minum beberapa galon, dan kemampuan berpikirnya jadi lebih baik. "Jikalau kau memang demikian perkasa—dan sudah kusaksikan itu—tak sanggupkah kau menggali saluran itu secepat mungkin, bukannya jengkal demi jengkal?"
"Sebab," kilah guru itu, "Sesuatu yang berharga barulah sungguh-sungguh berharga bila dilakukan dengan upaya sekecil mungkin. Semua hal punya ukuran upaya masing-masing. Dan aku melakukan upaya seminim mungkin untuk menggali saluran ini. Lagipula, aku tahu bahwa kau adalah mahluk yang terpenjara dalam kebiasaan sehingga kau akan selalu menggunakan kantor air dari kulit lembu."
REPUBLIKA
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Populer
-
S ewaktu aku masih muda, Aku ingin mengubah dunia. Tapi ternyata itu tidak semudah yang kupikirkan, maka dari itu aku berpikir u...